Sabtu, 07 April 2012

TERHORMAT DI MATA TUHAN


Sungguh, tidak ada hidup yang paling mulia selain menjadi terhormat di mata Tuhan. Bila ini sudah jadi prinsip hidup dan menerangi dalam perilaku sehari-hari, yakinlah bahwa Anda sudah berada di pintu surga. Lirik lagu “Nyanyian Suara Hati” yang dinyanyikan Ebiet G. Ade menggambarkan sesungguhnya manusia yang terhormat.

Seringkali aku merasa jengah dan sungkan
bicara tentang saudara kita
yang terhimpit derita kemiskinan
Sebab sesungguhnya mereka mungkin
lebih terhormat di mata alam
Sebab sesungguhnya mereka mungkin
lebih berharga di mata Tuhan

Kadangkala aku bahkan merasa cemburu
melihat senyum polos dan lepas
meski sambil menahan kelaparan
Maka sesungguhnya mereka lebih kaya
meskipun tanpa harta
Maka sesungguhnya mereka lebih bahagia
Dapat mensyukuri yang dimiliki

Sesungguhnyalah aku ingin belajar
sikap mereka menjalani hidup
Angin, tolonglah bawakan aku
sepotong kertas dan pena tajam
Akan kutulis tebal-tebal
pelajaranmu lewat diam

Kadangkala aku bahkan merasa cemburu
melihat senyum polos dan lepas
meski sambil menahan kelaparan
Maka sesungguhnya mereka lebih kaya
meskipun tanpa harta
Maka sesungguhnya mereka lebih bahagia
Dapat mensyukuri yang dimiliki

Sesungguhnyalah aku ingin belajar
sikap mereka menjalani hidup
Angin, tolonglah bawakan aku
sepotong kertas dan pena tajam
Akan kutulis tebal-tebal
pelajaranmu lewat diam
Akan kusimpan dalam-dalam
pelajaranmu lewat diam.

Apa yang dicari oleh manusia sepanjang hidupnya, tentu saja banyak dan bertingkat. Mulai harta, benda, makan, minum, ilmu pengetahuan, cinta kasih sayang kepada anak dan pasangan hidup, kebutuhan untuk tenteram damai dan aman, kebutuhan untuk aktualisasi diri, kebutuhan bermasyarakat, kebutuhan berkuasa, kebutuhan untuk menjalani hidup adikodrati dan seterusnya, dan sebagainya.

Saya tidak hapal teori-teori psikologi, mana di antara kebutuhan tadi yang merupakan kebutuhan primer, skunder, tersier, maupun yang paling tersier. Di bolak-balik terserah lah, yang jelas intinya bahwa sepanjang hidup manusia akan dihadapkan pada kebutuhan-kebutuhan tadi.

Bila boleh saya sederhanakan (tentu saja boleh dan siapa sih yang melarang manusia untuk sak karepe dhewe dalam hal menyusun pola hidupnya masing-masing?), kebutuhan hidup ada dua: kebutuhan hidup dunia dan kebutuhan hidup akhirat. Kebutuhan hidup dunia terpenuhi sebagai akibat adanya badan / jasad fisik, pemenuhan kepuasan biologis maupun psikologis. Sementara kebutuhan hidup akhirat melampaui kebutuhan hidup yang melulu jasad fisik tersebut. Kebutuhan hidup akhirat menuntut seseorang individu untuk melihat kebutuhan jasad fisik hanya sebagai pijakan kaki yang sifatnya komplementer dan suplementer.

Nah di antara dua kebutuhan hidup dunia dan akhirat ini, mana yang dijadikan tujuan fokus orientasi utama kita?

Sangat mengerikan bila hidup kita diorientasikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dunia saja. Dan mengabaikan atau menomorduakan orientasi kebutuhan hidup akhirat.

Adalah sangat bijaksana bila diminta untuk belajarlah pada sejarah dunia. Bagaimana peradaban dunia terbentuk oleh sosok Hitler, sosok Lenin, sosok Windston Churcil, sosok Che Guevara, sosok Ratu Elisabeth, sosok Jengis Khan, sosok Cheng Hoo, sosok Isa, sosok Muhammad, sosok Aristoteles, sosok Socrates, sosok Plato, sosok Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, sosok Budha, sosok Ibrahim, sosok Adam, sosok Gus Dur, sosok Bung Karno, sosok Bill Clinton, sosok Gorobachev, sosok Gajah Mada, sosok Diponegoro, sosok Ronggowarsito, sosok Idi Amin dan lainnya,…..

Sekilas, dari membaca namanya saja kita sudah bisa memperkirakan, sebuah aura sosial yang menyejarah pada sosok-sosok manusia yang menjadi tonggak dimana mereka hidup dan dihidupkan.

Sosok yang berorientasi pada kebutuhan hidup dunia akan membuat peradaban ini kisruh, ruwet, penuh penindasan dan mengabaikan hak asasi manusia, berdarah-darah, mengorbankan yang lemah karena alasan ideologis dan seterusnya. Sementara sosok yang berorientasi pada kebutuhan akhirat akan membuat peradaban ini damai, aman, tenteram, penuh cinta kasih sayang.

Dari sini, oke-lah kita sepakati bahwa yang terbaik adalah menomorsatukan kehidupan akhirat daripada dunia, menomorsatukan kehidupan batin daripada lahir, menomorsatukan kehidupan spiritual mental daripada kebutuhan fisik jasmani. Apalagi bulan puasa ini, adalah momentum yang bijaksana untuk menjahit kembali pandangan hidup kita yang bolong-bolong.

Inti kebutuhan hidup akhirat sebenarnya tersimpul dalam sederet kata namun sangat mendalam maknanya: BAGAIMANA TERHORMAT DI MATA TUHAN. Monggo direnungkan, bila ditafsirkan dengan ilmu-ilmu spiritual, agama, mental apa saja maka kata ini akan merujuk pada sebuah pendakian spiritual yang agung dan luar biasa.

Bila kita terhormat di mata manusia, maka manusia lain akan menganggap kita perlu untuk dihormati karena berbagai kemuliaan dan keluhuran yang kita sandang semasa hidup. Entah karena jasa-jasa kita, apakah karena harta benda kita yang banyak, apakah karena kita mampu berperan besar untuk masyarakat. Lain lagi bila kita terhormat di mata Tuhan, apa ini artinya?

Artinya, kita telah memiliki track record kemuliaan dan keluhuran hidup lurus alias tidak bengkok bengkok memegang janji kita sebelum kita diadakan/dihidupkan Tuhan. Janji ruh kita sebelum hidup ini adalah: Mengakui bahwa Tuhan adalah Gusti Allah yang satu dan kita senantiasa akan memposisikan Dia sebagai Tuhan. Titik. Dia bukan setan, malaikat, nabi, wanita, atau arca-arca.

Memegang janji kita sebelum kita diadakan/dihidupkan Tuhan dengan mengakui bahwa Tuhan adalah Gusti Allah yang satu dan kita senantiasa akan memposisikan Dia sebagai Tuhan. adalah satu-satunya jalan kemuliaan dan menjadi terhormat di Mata Tuhan. Seluruh hidup kita mulai anak-anak, remaja, dewasa, hingga usia senja hendaknya tetap memegang janji ini dan mengimplementasikan janji tersebut dalam perilaku dan perbuatan.

Siapa yang mampu dan berani untuk memegang janji luhur ini dan menyinari hidupnya dengan perbuatan nyata, akan terjamin di masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kita tidak akan pernah miskin dan gelisah karena telah memiliki satu jalinan hubungan yang kuat dengan Tuhan. Boleh saja dia dinilai orang lain tidak memiliki harta benda apa-apa, namun bagi sang kekasih Tuhan ini kebahagiaan dan keluhuran hidup nilainya tidak diukur sama sekali dari sana.

Sehingga, jangan pernah sedikitpun memandang hina dan remeh mereka yang hidupnya sederhana yang barangkali kita menganggapnya miskin, papa dan tersingkir. Sama sekali jangan. Bisa jadi hidup mereka sebenarnya berbinar terang oleh kesederhanaan, kebijaksanaan dan sinar-sinar keluhuran sebagai manusia yang terhormat di mata Tuhan. Kita tidak akan pernah mampu untuk mengukur derajat keluhuran manusia karena hanya Dia yang bisa menilainya.

Kita disarankan untuk rendah hati dan tidak boleh sok tahu. Sebab hidup adalah sebuah misteri yang tidak akan mampu bisa dibuka kecuali dengan kebijaksanaan yang tinggi yang diolah dengan batin yang suci, rasa yang menep dan hening, serta cipta yang sadar-sesadar-sadarnya bahwa kita hanyalah debu di terompah-Nya yang Maha Suci.

Akhirnya, marilah kita semua berkarya, belajar, bekerja, mencari nafkah untuk menghidupi semua orang di muka bumi. Memupuk rasa cinta kasih dan peraudaraan pada semua makhluk Tuhan, pada sesama manusia, pada jin, pada gunung, pada pohon, pada air, pada bumi, bahkan pada semut dan amuba sekalipun.

Jangan pernah menyakiti mereka sebab mereka juga punya rasa dan batin. Mereka ada karena diadakan-Nya. Mereka bukan diadakan untuk dieksploitasi oleh manusia namun mereka diadakan untuk menemani manusia. Manusia harus hidup harmonis, selaras, serasi dengan mereka dengan keseimbangan ukuran yang disesuaikan dengan kadarnya masing-masing.

Terakhir, derajat kemuliaan manusia yang paling tinggi terletak pada bagaimana dia mampu memposisikan dirinya secara terhormat di Mata Tuhan. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang derajatnya paling mulia dan lebih mulia dari malaikat yang bisanya hanya bertasbih memuji namanya, karena PERILAKU dan PERBUATANNYA diterangi oleh akal budi dan kebijaksanaan.

Sebaliknya, manusia juga bisa ndlosor atau terpuruk menuju derajat yang paling hina bahkan lebih hina dari seekor lalat karena PERILAKU dan PERBUATANNYA yang disinari oleh sinar hitam kelam keakuan-keiblisan yang penuh kebodohan sehingga batinnya tidak mampu lagi memancarkan sinar-sinar kemuliaan.

Ya Gusti Allah, Tuhan kita semua, sinarilah selalu batin ini dengan sinar cinta-Mu yang Maha Suci… Ulurkan tangan-MU untuk mengangkat kami dari keakuan/ego kami yang bertumpuk-tumpuk ini, dan jadikan kami terhormat di mata-Mu yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.

Suci yang batin akan menerangi yang lahir. Itulah harapan kita semua.


0 komentar:

Posting Komentar